Minggu, 06 Mei 2012

Tepi Sisi Susy Ayu: Pohon Jambu Klutuk

Pernahkah kau menjumpai pohon jambu klutuk yang bisa menjadi sahabat baik sepanjang perjalanan tiga belas tahun kehidupanmu? Aku bahkan memilikinya, ia tumbuh di halaman rumahku. Dahannya sebagian yang menyeberang pagar adalah tempatku berayun sambil menyanyikan lagu lagu yang ada di ingatanku. Kadang penuh, kadang setengah kadang hanya reff nya saja. Pada setiap baris lagu selalu merupakan sapaan pada ujung dahan untuk mencium tepian parit di seberang pagar.

Aku pun bisa menulis apa saja pada daunnya , atau menggores batangnya di tempat terpucuk yang tak mungkin terjangkau oleh mata yang lain. Menulis dengan pulpen yang sudah kehabisan tinta, (pulpen milik saudaraku yang kutemukan di tong sampah. Tentu aku belum boleh punya pulpen, aku masih kelas dua SD) tulisanku akan membekas pada daging batangnya. Kelak kau akan tahu, apa yang kutorehkan di sana.

Selalu seperti ini, tubuh kurus berbalut celana pendek dan kaos kesayangan bertuliskan namaku, bergantung dan berayun ayun seirama daun. Garam dan satu cabe rawit yang kugerus diam-diam di dapur tidak pernah lupa kubawa, menaburnya pada tatakan gelas , seakan menjadi bekalku di dalam kesunyian sambil mengunyah buah jambu yang mampu kuraih. Jika dalam jangkauanku tak ada lagi buah jambu yang menguning, maka yang mengkal atau pentil ku kunyah juga. Aku seringkali terpesona melihat butiran garam memerah, menempel pada belahan pentil jambu. Serupa pasir diterpa cahaya langit senja yang bertebaran di atas serpihan halus mutiara.

Di atas pohon, bahagiaku menyamudera. Bisa kuciptakan segala macam imajinasi sejumlah banyaknya daun. kadang aku berkhayal menjadi seorang nakhoda, keika kapalku diterpa badai maka dahan tempatku berdiri akan ku ayun-ayunkan sekuat tenaga. Beberapa daun kering kemudian berjatuhan.

Atau aku adalah seorang putri yang tersesat di tengah hutan, bersembunyi di atas sebuah pohon lalu beberapa binatang buas berjaga di bawahnya. Kali ini selembar daunpun tak boleh kusentuh, diam, tanpa suara. Sesekali ku tahan nafas, jangan sampai binatang buas itu mencium aroma manusia.

Tentu bukanlah waktu yang sebentar untuk berada di atas pohon dengan rentetan lagu dan berbagai imajinasi itu. Aku bisa menghabiskan waktu berjam jam , berlama lama di sana. Selain hari Minggu yang ramai dipanjati oleh teman teman sepermainanku, pohon jambu ini akan kesepian, seperti aku.

Di antara teman sekitar rumahku, hanya aku yang bersikeras memilih sekolah dasar paling populer di kotaku, meski berjarak belasan kilo meter yang mesti kutempuhi sepanjang harinya. Teman-temanku yang lain lebih senang memilih sekolah yang jaraknya hanya dua kilometer . Sesekali perasaan iri ingin berbaur hadir saat melihat mereka beramai ramai berangkat sekolah bersama. Bisa kau bayangkan, betapa menyenangkannya berjalan kaki ke suatu tujuan bersama teman-teman sejatimu?

Perbedaan sekolah itu terkadang jadwal jam sekolah kami pun berbeda. Diam diam aku membuat catatan, siapa teman teman yang memiliki jadwal waktu yang sama denganku, pada minggu pertama, ke dua dan seterusnya. Dengan demikian aku akan tahu, siapa yang bisa kuharap mendengar nyanyianku karena jika nasib sedang baik, suaraku serupa panggilan untuknya datang. Bukankah harapan sekecil apapun selalu memberi semangat pada diri di dalam waktu-waktu yang harus di tempuhi? Lalu semangat itu terkadang gemar memberi kita bonus, sebuah rasa bahagia di saat harapan menjadi kenyataan.

Setiap hari pada jam makan siang, seruan dari seorang perempuan pembantu yang dibayar setiap bulan dari gaji bapakku, nyaring terdengar. Seberapapun aku sedang berada di duniaku yang lain, aku harus segera kembali. Aku tidak suka seseorang yang tak kuharapkan mendekati dunia fantasiku. Maka kuputuskan untuk menghampirinya di ruang makan sambil menyodorkan piring kosong.

Tentu saja sebenarnya aku tidak lapar, aku tidak ingin makan, namun ancaman perempuan itu sangat menyiksa waktu malamku. Aku tentu tidak akan diijinkan berkunjung ke kamarnya di bagian belakang rumah yang bergaya kolonial ini.

Aku bergidik membayangkan saat-saat yang menyiksa menunggu bapak dan mamaku pulang dari acara makan malamnya bersama teman Bapakku para perwira itu berikut Nyonya ( aku kerap mendengar kata Nyonya itu dari teman Bapak ketika mereka saling menyapa dan bertanaya kabar istri teman).

Sama bergidiknya dengan berada di antara dua kakak perempuanku yang lebih tepat dibilang penjajah ketimbang saudara.

Setelah itu, alternatif terkahir akan jatuh pada kakak sulung laki laki satu-satunya. Ah, itupun dia tidak mudah untuk ku baca. Dia lebih sering mengusirku menjauh dari pintu kamarnya ketika kubuat celah pada sibakan korden untukmengintipnya, dia akan selalu berada di meja belajarnya, tekun.

Hanya sesekali aku dipanggilnya masuk dan mengijinkanku tidur di kamarnya hingga Bapak dan Mamaku pulang. Tentu saja dengan tutupan kelambunya juga serangkaian kata jangan berisik, tidak perlu bersenandung, awas kalau menyentuh barang-barangku. larangan itu tidak akan pernah menjadi masalah untukku karena ketika sudah terbaring di ranjangnya dengan mata terpejam, maka kelambu yang tertutup itu merupakan pintu yang mengunciku dari dunia luar. Aku kembali menemukan duniaku.

Dengan pertimbangan kebergidikan itu semua, panggilan makan siang merupakan perintah yang tidak mungkin dilanggar. Kadang aku makan berdua dengan perempuan itu di dapur. Aku sangat senang melihat melihat tiap suapan yang masuk ke mulutnya akan disusul dengan sebuah cabe rawit utuh. Aku akan merinding ngeri sekaligus tertawa kegelian mendengar suara gerusan pada cabe rawit itu lebih nyaring daripada nasi yang terkunyah. Perempuan itu akan memperlihatkan kehebatannya lagi, cabe rawit yang berikutnya dimasukkan ke dalam kunyahan yang belum selesai.

Aku selalu takjub melihat air mukanya yang tidak menunjukkan tanda tanda terbakar kepedasan dan aku ingin dia melakukan atraksi nya lebih dahsyat. Melalui takjubku yang bukan sandiwara, bisa ku selipkan tujuan untuk menghibur diriku melalui penderitaannya. sayangnya atraksi selalu berhenti sebelum puncaknya. Bukan karena dia tak mampu, melainkan karena persediaan cabe rawit sudah habis.

Tiba tiba aku menyesali, tiap kali aku naik pohon jambu, aku akan membutuhkan satu buah cabe. Namun rupanya tidak hanya satu untuk sehari, jika gerusan cabe dan garam itu sudah basah bercampur dengan titik titik air jambu yang terbelah maka aku akan mengganti dengan gerusan baru. Seberapa sering ia basah, sesring itu pula aku akan menggantinya, secara diam diam tentunya.

Aku menyadari sesuatu, ternyata persediaan kesenangan di dalam kotak ku hanya sebegitu jumlahnya. jika aku telahmengambilnya untuk yang ini, maka tidak akan ada lagi untuk yang itu. Tetapi aku tidak kehabisan akal, ku tawarkan ide kepada perempuan itu untuk menanam pohon cabe. Sebaiknya kita tanam di halaman belakang rumah, di samping bangunan besar dari kayu berisi hampir ratusan ekor ayam peliharaan Bapak. Perempuan itu sangat bersemangat, dia bilang ideku luar biasa. Besok kami harus mulai menjemur beberapa buah cabe rawit baru sebelum disemai.

Namun tidak selalu aku bisa makan siang dengannya karena rasa lapar menyerangnya sebelum jam makan siang. Tentunya aku tidak semangat makan sendirian, toh aku tidak lapar, apalagi makan sendirian di ruang makan lengang ini. Akan lebih menyenangkan makan di dapur bersama atraksi cabe rawitnya.

Diam-diam aku sering menipunya, juga menipu Mamaku ( kumanfaatkan kelihaianku menggerus). Aku hanya perlu mengambil sedikit nasi, menggerus hingga melekat di permukaan piring lalu ku siram sedikit dengan kuah sayur. Akan tampak seperti piring yang selesai dipergunakan untuk makan. Terbebaslah aku dari keharusan makan siang. Ah, dia dan Mamaku tidak pernah tahu, aku sudah kekenyangan di atas pohon jambu.

--------

Susy Ayu, Juni 2009
Cerpen dan Sketsa Ipe Maaruf dimuat dalam buku kumcer Perempuan Di Balik Kabut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar