Selasa, 08 Mei 2012

Peradaban Kecil di Sebuah Kelas

Di tengah ekspansi pasar global yang semakin mengemuka dalam dekade terakhir, tentu muncul persoalan yang urgen: bagaimanakah kita mendidik generasi muda bangsa ini di tengah pergaulan bangsa-bangsa yang dikomandoi oleh pasar ini?

Jawaban yang umum dimunculkan adalah bagaimana mengajarkan ketrampilan ilmu pengetahuan dan teknologi yang siap digunakan oleh dunia kerja. Tapi yang jarang disinggung adalah bagaimana mendidik calon penerus bangsa yang tidak hanya pintar, tapi juga bijak.

Bijak mungkin kata yang terdengar berlebihan, tapi kalau kita mengingat bagaimana ilmu pengetahuan dikembangkan untuk meningkatkan harkat manusia, maka wawasan kebijakan inilah yang sesungguhnya merupakan gambaran ideal dari kualitas kemanusiaan. Karenanya, seyogyanya, wawasan inilah yang menjadi tujuan akhir dari dunia pendidikan.

Wawasan kebijakan ini merupakan hal yang terlalu luas untuk dibahas dalam tulisan yang bersahaja ini. Akan tetapi, saya ingin berbagi sekelumit pengalaman yang saya tempuh, berkenaan dengan salah satu produk peradaban yang mengekspresikan secara langsung kebijakan-kebijakan manusiawi, yaitu puisi.

Tulisan ini berangkat dari pengalaman saya sebagai narasumber dalam Pelatihan dan Apresiasi Puisi untuk siswa dan guru Sekolah Dasar di kabupaten Banyuasin (6-7 Maret 2012) dan Ogan Ilir (8 – 9 Maret 2012) Sumatera Selatan yang diadakan oleh Badan Bahasa Jakarta.

Wajah wajah yang antusias dari peserta baik siswa maupun guru menyambut kehadiran saya dan Nia Samsihono beserta staff. Sungguh permulaan yang baik, mempelajari puisi dengan hati yang terbuka. Hari pertama, tentu saja saya menyajikan tips-tips dasar cara membuat sebuah puisi yang tentu tidak mereka temukan di dalam buku pelajaran di sekolahnya. Mulai dari pemilihan ide, pemilihan kata, membangun baris puitik dsb. Berikut latihan membuat puisi secara spontan dan membuka forum tanya jawab sebanyak-banyaknya. Hasilnya cukup mengejutkan saya, rata-rata peserta mampu menangkap materi, menciptakan puisi dan saya diserbu dengan beragam pertanyaan yang cukup kritis dan detil. Apa yang kemudian bisa kita baca dari sana? Ini menunjukkan bahwa ada kerinduan untuk disapa sebagai sebuah pribadi. Bahwa khususnya anak didik ini adalah juga manusia, bukan sekedar angka statistik dalam administrasi pendidikan nasional. Kurikulum pendidikan nasional seyogyanya menggarisbawahi tujuan kemanusiaan semacam ini.

Menurut pengakuan beberapa guru; mereka kesulitan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar terutama saat harus berbicara di sebuah forum yang resmi tanpa menggunakan teks. Tentu hal ini salah satunya adalah karena mereka terbiasa menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari sehingga perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia tidak begitu banyak dimiliki. Maka melalui pelatihan dan apresiasi puisi kali ini, di mana saya menggunakan puisi-puisi dalam bahasa Indonesia setidaknya kita bisa menghargai betapa pentingnya bahasa nasional. Bahasa nasional adalah ikatan terkuat yang merangkum identitas kebangsaan.

Dalam kaitan dengan keberagaman, maka bahasa nasional menjadi sebuah jembatan yang mengatasi ragam yang pada akhirnya mampu mempertautkan ragam-ragam. Mungkin tidak ada bangsa lain di dunia ini yang terdiri dari sukubangsa-sukubangsa yang demikian beragam seperti Indonesia. Keragaman ini bisa kita lihat sebagai sebuah hambatan, atau sebaliknya, sebagai sumber kekayaan budaya yang luar biasa. Dari ranah asal identitas kebangsaan yang semacam ini, bahasa pemersatu merupakan satu pilar kebudayaan yang harus dibangun sebaik-baiknya. Kata ‘dibangun’ mungkin sangat bias-pemerintah, akan tetapi maksud saya di sini adalah bahwa bahasa merupakan ranah penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan ini bukan hanya tanggung jawab negara semata-mata. Meskipun demikian, dari sudut pandang tata kelola negara, dunia pendidikan yang mengedepankan pengembangan kebahasaan tidak bisa dikesampingkan lebih jauh lagi.

Bahasa pemersatu memang sering terdengar klise dalam ekspansi bahasa asing, terutama bahasa Inggris yang gila-gilaan belakangan ini, juga dalam gembar-gembor going global. Itulah mengapa bahasa pemersatu yang menegaskan identitas nasional justru menjadi semakin penting dan mendesak, agar manusia Indonesia tidak lenyap sepenuhnya dalam pasar global dan globalitas.

Dalam kerangka kepedulian semacam ini, maka Pelatihan dan Apresiasi Puisi untuk siswa dan guru Sekolah Dasar ini menemukan konteksualisasinya. Kegiatan ini membuat para guru merasa lega karena cukup menjawab kecemasan mereka selama ini; “Bagaimana kami bisa mengajarkan apresiasi puisi jika kami sendiri tidak tahu cara membuat puisi?”. Dua hari masa pelatihan untuk tiap kabupaten memang rasanya sangat cepat, namun dari hasil evaluasi dan dari pertanyaan juga pernyataan mereka telah menunjukkan dari tidak tahu menjadi tahu. Sebuah bekal dasar bagi para guru untuk menurunkan kepada anak didik yang lain. Tentu kreatifitas seorang guru sangat dibutuhkan agar semua mampu mengapresiasikan puisi, tidak memperlakukannya sebagai sebuah hapalan namun pemahaman.

Guru dan murid adalah sesama kolega pembaca yang berbagi pengalaman mental/batin dalam mengapresiasi sebuah karya sastra. Karya sastra tidak bisa diajarkan dalam pengertian seperti mengajarkan petunjuk teknis. Setiap apresiasi sah adanya apapun bentuknya dan tidak ada salah benar atas hal itu. Oleh karenanya apresiasi sastra selalu merupakan individual dan tidak bisa digeneralisasikan. Hanya dengan demikian sastra bisa mencapai kedalaman manusiawi yang menjadi dasar penciptaannya.

Mengapresiasi puisi, mampu mengolah rasa juga pikir. Puisi adalah olah raga mental yang tidak tergantikan dengan sains. Puisi mengemukakan satu wilayah yang ditinggalkan oleh ekspansi sains dan teknologi, bahwa dimensi kemanusiaan juga terdiri dari kepekaan tanggap individu terhadap lingkungannya. Bentuk-bentuk tanggap antar individu, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya inilah yang membangun karakter sebuah peradaban. Demikianlah kita mengenali puncak-puncak capaian peradaban manusia dari sastra yang diciptakannya.

Pada hari terakhir pelatihan puisi di kab Ogan Ilir dan Banyuasin Sumsel, saya meminta peserta membuat puisi dan membacakannya di depan kelas. Untuk kemudian membahasnya, menuntun mereka mengapresiasikan tiap puisi. Terlihat beberapa siswa tidak mampu menghadang linangan air mata membacakan puisi di depan kelas, puisi tentang ibunya belum lama meninggal dan tentang cinta kepada kedua orang tua. Membuat kami ikut terhanyut ke dalam puisi-puisi mereka.

Pertanyaan terakhir menutup pelatihan, saya mengajukan pertanyaan; "Apa yang adik-adik dan bapak ibu guru rasakan ketika selesai membuat puisi?" Mereka menjawab merasa lega dan bahagia. Sebagian tersenyum, sebagian terharu. Beberapa pasang mata menyimpan air mata, juga saya.

Itu pencapaian yang tampaknya kecil, tapi demikianlah sastra bekerja untuk sebuah senyuman atau setitik air mata. Hal-hal yang menjadikan seorang manusia tetap manusia. Hingga perlahan kecerdasan emosional mereka akan berkembang, kecerdasan intelektual dan kecerdasan mental menjadi seimbang.

*Susy Ayu, penyair dan cerpenis.

(Dimuat di Minggu Pagi Yogya No. 01 Th. 65, Minggu I April 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar