Rabu, 09 Mei 2012

Langit Sephia Berbingkai Jendela

Cuma ada debaran keras di dada, sekaligus bercerita tentang ketidakberdayaan. Kelelahan bertahun untuk terus menerus berusaha mempertahankan tahta di hati seseorang. Semestinya ia tidak sendirian di sini, menyapu permukaan ranjang berlapis sutra dengan betisnya yang putih dan jenjang. Dingin menyergap, membungkusnya, sedangkan ia setengah telanjang. Semestinya ia tidak kesepian di sini, karena kamar ini selalu hingar di penghujung minggu, bercinta sampai pagi, mencoba metode baru bersetubuh, meledak berkali-kali sampai ke puncak keyakinannya tersimpan di hati laki-laki pasangannya. Lalu sederet kecil berlian akan disematkan pada lehernya. Namun demi Tuhan, bukan itu lagi yang ia damba, laki-laki yang sepantasnya menjadi bapaknya itu menyemaikan cinta dan pengharapan lebih dari sekedar perempuan simpanan. Ia ingin dicinta, sebagaimana perempuan yang utuh.

Kini ia menatap cermin, keningnya basah oleh peluh, disapunya perlahan menyusuri leher lalu berhenti di dadanya yang masih saja bergantung indah, entah sudah berapa laki-laki yang pernah meningalkan jejak samar di sana selain seorang anaknya. Ada guratan sangat halus nyaris tak terlihat di ujung kedua matanya, namun masih saja tampak indah untuk gambaran seorang perempuan berusia di atas tiga puluh tahun. Cerlang matanya meredup, ada warna gelap di kantung matanya, wajahnya kusut, ah…ia terlalu banyak minum semalam. Namun hanya dari situ ia mendapatkan gelora, gairah untuk terus bertahan dan menikmati keutuhan cintanya pada laki-laki itu yang sering datang sebagai bayang-bayang dari pada kenyataan.

Tubuh putihnya yang setengah telanjang menggeser perlahan, meraih setumpuk surat yang belum lagi dibaca. Ia sudah tahu apa isinya tanpa perlu membukanya. Kabar tentang ayah ibunya yang sudah renta di kampung, bibinya, kakaknya, seorang anaknya, kemudian sederetan angka-angka yang mesti ia kirimkan untuk menghidupi semua orang tercinta itu. Perasaan nelangsa , kesepian dan kemarahan yang terpendam begitu rupa membuat ia tidak bersemangat untuk memikirkan siapapun. Mengapa ia biarkan dirinya terlanda damba cinta dan hangat seperti ini? Seharusnya tak perlu, hanya bikin siksa.

Sebelah kakinya bersila di atas kursi, g-stringnya merebak, sekali saja seakan tanpa sengaja ia usap belahan di antara dua pangkal pahanya, basah. Andai saja ia masih berhak menerima setiap pria yang menginginkannya, tentu tak perlu merasa kesepian. Banyak hal yang bisa membuatnya lupa akan pedihnya, paling tidak ia tidak akan pernah merasakan sungguh-sungguh sendirian. Walau mungkin semu.

Genap delapan minggu tanpa laki-laki itu, tanpa pertarungan bersimbah keringat, tanpa pergumulan yang disudahi dengan jeritan panjangnya. Bangsat betul! Laki-laki itu menyimpannya untuk dinikmati sendiri, juga disimpan untuk diasingkan, tak terjamah, tak tersentuh. Delapan kali minggu laki-laki itu mengingkari janjinya, tiada kabar, tiada pesan yang tertinggal. Semua sms yang ia kirimkan ber- report: pending. Hanya suara perempuan yang diatur secara otomatis menyambut suaranya. Halo…halo…. Aku lelah! Aku lelah hidup seperti ini. Nikahi aku saja atau lepaskan aku kembali ke tengah malam.

Untuk kesekian kali ia pandangi wajahnya di cermin, meraih sebatang rokok, membakarnya. Seperti iseng, ia mencore-coret wajahnya dengan kosmetik, berusaha terus menerus mengganti identitasnya. Ia melakukannya sambil terus merokok, tiap satu coretan ia berhenti, mengamati lekat-lekat wajah yang terpantul dari cermin. Siapa ini? Akukah? Seperti apa aku ini? Namun tiap kali ia berhenti dan memandang dirinya sendiri yang tertangkap hanya kepulan tipis asap rokok seperti tirai di hadapan wajahnya. Menangakap bayangan wajahnya sendiripun tak lagi bisa, dan ia tak perduli. Enyahlah kau perempuan malang di dalam cermin! Makin ia tebalkan asap itu, terus menerus hingga kamarnya putih kelabu, sampai ia terhenti sebab kepulan asap itu seperti jemari yang menyekik lehernya.

Ia menyeret langkahnya tanpa semangat, membungkuk meraih tas di kolong ranjang dan mengeluarkan sebuah handycam dari dalam tasnya. Kemudian ia memutarnya, di displaynya terlihat wajahnya sendiri, pada waktu yang lain.

DI LCD
(Ia duduk di atas ranjang, bersila, penuh telanjang, menjepit sebatang rokok yang belum dinyalakn di antara jemarinya)
Semua ini tentang kesedihanku, terperangkap di istana ini, berdandan, mematut-matut diri di cermin dengan lingerie yang selalu baru untuk menyita perhatianmu, berusaha kerasa melahap pengetauan bersetubuh dengan gaya baru untukmu. Namun, kita bukan suami-istri, aku hanya simpananmu….
(Tampak ia mengusap ujung dadanya dengan punggung tangannya)

Aku benci kenapa aku harus mengingat-ingat, kenapa aku tak boleh lupa bahwa aku hanya simpananmu. Dilarang keras bergandengan mesra denganmu di keramaian, tidak kau bawa di undangan teman-temanmu, kau hanya menyimpanku baik-baik di sini, tak boleh terjamah selain kau, mesti selalu segar dan merangsangmu. Setiap kali kau mau. Aku hanya ingin kau ada kali ini, lalu kita bercakap, agar kau tau ini real, rasa sakitku nyata.
( Ia tertunduk, mengusap pelan sudut matanya yang mulai basah)


Terdengar suara berdecit,ia menekan tombol fastforward tanpa melepaskan tombol play-nya. Lalu berhenti di sebuah gambar:

Di LCD
(Ia menyelipkan paha laki-laki berumur lima puluh lima tahun itu di pangkal antara dua kakinya yang mulus, keduanya penuh telanjang)
Aku kesepian, aku telah kehilangan banyak hal. Kau tidak pernah mengenal rasa kehilangan.


(Tangan laki-laki itu meremas dadanya, seakan gemas, tak habis-habis, kemudian tangan itu tinggal di putingnya)
Kau punya segalanya kini, manisku.


(Ia merapatkan tubuhnya , lebih dekat ke dada laki-laki itu)
Tapi aku tidak memilikimu.

(laki-laki itu sedikit gusar, ia meraih selimut, pejamkan mata, tak bersemangat)
Bukankah ku penuhi segala kebutuhanmu?

(Merajuk, ia lebih merapat lagi)
Kau berjanji menikahiku, kita adalah sepasang kekasih kan? Atau aku hanya simpananmu saja?

(Laki-laki itu lebih gusar lagi, menggeser tubuhnya agar menjauh)
Menikah? Kau setuju begini sajakan pada awalnya? Kenapa tiba-tiba minta dinikahi? Cobalah realistis, Elsya. Yang penting tidak ada wanita lain. Selain kau, hanya istriku. Aku tidak bisa menceraikannya, Elsya, itu tidak masuk akal. Ah, matikan kamera itu, aku tidak suka kau merekam!

(Segera ia membelakangi laki-laki itu, hatinya patah, bukan untuk merajuk)
Lebih baik aku kembali menyanyi di club, tak seorangpun memiliki aku , juga tak seorangpun yang kumiliki. Itu lebih adil.

(Laki-laki itu terkejut, tak menduga, cepat saja laki-laki itu meraih tubuhnya, menyibak selimut, meloncat ke atasnya kemudian menindihnya)
Tenang, manis. Jangan kembali ke club, baiklah, aku akan pikirkan hal ini. Kita akan menikah……maka jadilah pengantinku malam ini……

(kemudian dua tubuh itu saling bertindihan dan terguncang di balik selimut yang dibalutkan dan terdengar suara ranjang mewah yang seharusnya tidak berderit)


Ia menekan tombol stop dengan mata yang merah dan basah. Gambar itu sembilan minggu yang lalu, ia ambil sebelum laki-laki itu tak berkabar.

Kemudian ia bangkit lalu membuka jendela apartemennya, langit meredup dengan cakrawala bernuansa sephia, menantang gedung-gedung tinggi yang menyinarkan lampunya. Ah, seakan ia berdiri di tengah panggung, suara beat yang berdetak meruntuhkan jantung, suara-suara sintetik. Cahaya berwarna merkuri menerpa sebagian wajahnya. Cantik wajah itu cemerlang, namun matanya hampa. Tubuhnya seperti bidadari yang terluka, perlahan berubah menjadi seekor serangga yang siap membenturkan dirinya pada nyala yang panas.

Nyanyian itu memerangkapnya begitu rupa, ia mulai mengulang-ngulang sebuah bait, seperti meracau, seperti menjerit, seperti berteriak, tercekat berulang kali kemudian ia sungguh tercekik. Lalu ia jatuh di pinggiran ranjang dengan sengal napas dalam telungkup tubuhnya. Ia tampak begitu kesakitan.

Namun ia segera bangkit melupakan rasa sakitnya, melakukan ritual di depan cermin, sangat berhati-hati bagaikan sebuah upacara. Membubuhkan bedak penuh khidmat, sekali lagi ia terpenjara dalam perasaannya sendiri. Sambil bersenandung ia mengusap pelan wajahnya, lehernya dadanya, putting susunya. Ia berdiri, menari-nari, berputar, meliuk dengan sangat erotis. Ketika selesai lagunya dinyanyikan, ia kelelahan, terengah-engah seperti terpuaskan berkali-kali. Kembali ia menatap wajahnya di cermin yang selalu saja menjadi semakin asing, siapakah perempuan di cermin ini? Tak usah perduli, kepulkan saja asap rokokmu, tebalkan, agar kau tak lihat siapa ia.

Kau hanya perlu tidur panjang, Elsya. Perempuan malang, tidurlah agar berhenti juga kau rasakan deritamu. Dalam lelapmu nanti, kau akan terbebas dari segala nelangsa.

Ia meraih gaun putih berdada rendah, mengenakannya. Seketika tampil seorang perempuan matang yang begitu menawan, begitu berkelas, begitu anggun. Tapi perempuan ini nyata-nyata begitu rapuh, seperti gerabah. Sebenarnya ia tak ingin banyak hal, hanya ingin meraih cinta yang belum pernah ada dalam hidupnya. Tetapi yang tinggal adalah segerombolan serigala liar yang berkeliling di sekitarnya, siap menerkam dan menikmati cabikan tubuhnya. Serigala yang paling kejam adalah James, wajah pria itu muncul dengan tubuh binatang. James, pemilik club. Ia menyanyi di club sekaligus menjadi pemuas hasrat James, menyusul jadi santapan bagi serigala lain yang kelaparan, sahabat-sahabat dan tamu-tamu si pemilik club.

Lalu seseorang datang laksana penyelamat, menebusnya dari club setahun ini, menafkahi keluarganya, mengikatnya. Dan cinta datang kemudian, pada laki-laki yang telah beristri dan tidak mungkin dapat menikahinya atas dasar sebuah nama baik. Namun bila laki-laki itu beranjak darinya, maka sebagian dirinya akan mati.

Ia meletakkan kamera pada tripodnya, duduk bersila di atas ranjang berhadapan dengan kameranya. Gaun putih menutup lembut seluruh tubuh mulusnya, hanya pucuk dadanya yang mengeras mengintip dari sebalik gaunnya. Wajahnya pucat, namun sangat pasrah, berjuta gurat lelah akan pedih masih jelas terlukis, takkan terhapus.

Di viewfinder kamera itu, terlihat ia menggenggam remote. Lalu ia mulai merekam:
“Ini adalah kesedihanku yang kesekian, ketika tak juga aku dapat bangkit dan membuat hatiku menjadi lebih kuat. Aku terlalu letih untuk mengarungi hidup ini selanjutnya. Kepada yang mencintaiku, maafkan aku karena rapuhku, karena dendamku pada masa lalu yang melukaiku, juga karena cintaku pada seorang laki-laki yang tak dapat kutanggungkan sendirian. Hatiku tak cukup luas untuk menampung cinta ini, aku tak bisa hidup dengan laki-laki tanpa cinta pun tak bisa hidup tanpanya. Selalu saja cintaku tumbuh di tempat yang salah. Sungguh aku patah lagi. Maafkan atas salahku ini, yang kusadari namun sangat terlambat.”

Kamera itu masih menangkap gambar saat ia menenggak air putih benyak-banyak tiap kali setelah menjejalkan sejumlah dari puluhan butir obat tidur ke mulutnya, sampai botol itu kosong. Lalu mengucapkan sesuatu sebelum merebahkan dirinya dengan lembut di atas ranjang dan memejamkan matanya. Begitu rela. Aku bukan seorang tawanan lagi.

Kamera itu belum berhenti merekam, beberapa saat yang terdengar hanya desiran angin yang menyentuh tirai dari jendela yang masih terbuka. Kemudian dering telepon berbunyi, setelah answering machine menjawab, menggema jernih suara seorang laki-laki:

Angkat teleponmu, Elsya sayang. Aku tahu kau ada di kamarmu. Angkat sayang maafkan aku untuk menghilang selama ini setelah pertengkaran besar dengan istriku . Hubungan kita ketahuan sayangku dan ia minta bercerai, rupanya Tuhan mengabulkan doamu (laki-laki itu tertawa).

Elsya, sayangku, manisku..kau dengar aku kan? Plis angkat teleponmu , bidadariku. Kita bisa merencanakan pernikahan kita, aku akan datang esok hari dan kan kita habiskan sepanjang waktu untuk bercinta. Elsya…Elsya..Elsya…..

Suara itu makin melemah, seirama denyut nadi perempuan yang terbaring di atas ranjang berlapis sutra. Lalu suara itu menghilang seiring buih putih yang mengalir di sudut bibirnya. Elsya benar-benar tidur kini, sempurna lepas dari seluruh yang menawan dirinya.*

Susy Ayu, Februari 2011

(Sketsa Ipe Maaruf dimuat dalam buku kumcer "Perempuan Di Balik Kabut")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar