Minggu, 06 Mei 2012

Membaca Puisi Kurniawan Junaedhie

Buku kumpulan puisi seorang Kurniawan Junaedhie berjudul “Perempuan Dalam Secangkir Kopi” tengah terbuka di atas meja tulisku. Buku yang disampaikan oleh penulisnya pada sebuah rumah makan yang kami singgahi beberapa waktu lalu. Sungguh ini adalah sebuah buku yang tak pernah bosan kubaca. Maka ketika membacanya untuk kesekian kali ada perasaan yang cukup mengganggu hati. Sel sel kelabu di kepala segera cepat mengambil tindakan untuk mencegah ganjelan itu menyebar ke seluruh persendianku. Bikin aku lungkrah. Satu-satunya penyembuh hanya dengan cara menuliskannya, maka jadilah kutulis suatu perasaan yang begitu kuat tentang buku itu.

Membaca puisi KJ, aku seperti diajak menelusuri sebuah tempat dan suasana yang pernah kulewati yang sepenuhnya berisi benda benda yang tidak menyita perhatianku; cangkir, serbuk kopi, gula, air panas, termos, kamar, café, tiang listrik, dan sebagainya. Tetapi entah ketika membaca puisi KJ, aku seperti bibawa kembali ke tempat tempat itu..dan diajaknya aku melihat benda benda yang sebelumnya tak menyita perhatian menjadi sesuatu yang demikian menarik dan membekas. Astaga….betapa cantiknya semua benda itu kau lekuk lekuk menjadi berbagai bentuk tanpa kehilangan keasliannya. Aku pernah bilang begitu, dan dia hanya tersenyum.

Kupikir KJ tidak memandang sesuatu sebagai apa, tetapi bagaimana. Seperti itulah yang tergambar kemudian di seluruh puisi puisinya. Pada puisinya “Perempuan dalam Secangkir Kopi 1 dan 2 “ kita bisa melihat betapa lihainya dia memainkan secangkir kopi di dalam genggamannya, membentuknya menjadi sebuah wadah serupa hatinya. Lalu perempuan itu berenang di sana, memunculkan semacam godaan dan daya tarik yg timbul di dalam hatinya. Juga bagaimana sendok kecil itu dia gunakan untuk mengaduk seorang perempuan agar menyelam makin dalam ke dalam lubuk kopi. Lubuk hatinya.

Bagi beberapa penyair, (entah itu anak bawang atau sudah kawakan) biasanya akan melukiskan tentang ingatannya terhadap seseorang dengan cara begitu saja. Seperti sebuah frame lalu seseorng muncul begitu saja di tempat yang abstrak..mungkin melayang di udara, di benak , dengan serangkaian kata kata indah penghias taman…Namun tidak bagi KJ. Dia bisa meletakkanmu di mana saja, di dalam sebuah benda yang tidak abstrak, benda yang ada di sekitar kita, di dalam cangkir (“perempuan dalam Secangkir Kopi 1-2” hal 1&2), di atas mesin photo copy ( “ Keroncong Kebayoran” hal.18-19) atau ke dalam bubu ( “Kau, ikan & Nelayan” hal. 6). Lalu kita merasa benar benar berada di dalamnya lengkap dengan suasana kopi, lalu tertempa cahaya mesin photocopy, juga sesak di dalam bubu. Kita akan diletakkan pada tempat yang benar benar benda…bukan sesuatu yang abstrak, namun di tempat tempat yang tidak terduga.

Membaca puisi KJ. Aku menangkap aura kesederhanaan, tentu saja dari hatinya, seperti halnya kita menulis dengan hati. Tidak ada yang muluk muluk dari puisi puisinya, dengan kata lain puisi puisi itu tidak dibangun dengan konsep puitika yang njelimet dan rumit namun dibentuk dari putika yang sederhana, jernih sehingga gagasan dari penyairnya tersampaikan secara komunikatif. Sebab seringkali penyair terpaku pada diksi diksi yang dipercantik sedemikian rupa sehingga penyairnya terjebak pada metafor-metafornya sendiri, kemudian puisi menjadi kebingungan mencari arah dalam menyampaikan makna dan pesan.

Ini menimbulkan kesimpulan yang kutarik sendiri, bahwa kita tidak perlu mati-matian mencari puitik dalam kalimat, namun membangun puitik itu pada keseluruhan puisi.

Puisi-puisi KJ memang terasa bening, sehingga kita dengan mudah melihat kedalaman hingga dasarnya. Seperti sebuah frame yang berisi nama-nama, sosok sosok pada suatu waktu dan tempat. Kulihat KJ sangat menghargai hubungan dengan orang orang di sekitarnya, bahkan menjadikan itu salah satu elemen yang sangat berarti dalam hidupnya. Secara tematik, puisi puisi KJ menghadirkan kesendirian, kesunyian, kesedihan, juga cinta yang meluap. Tema tema itu begitu kuat getarnya namun tidak diolah dengan pengungkapan yang cengeng.

Puisi puisi KJ juga mengandung aura erotik diperdalam dengan konstruksi imajinasi. Cumbu yang bagi KJ adalah suatu bangunan yang layak ditulis dalam pencitraan atas rasa cinta pada puncaknya. Begitulah apresiasi KJ terhadap keindahan atas dorongan hasrat yang kuat, di mana nafas nafas birahi itu dikemas dengan halus dengan cita rasa hingga tidak vulgar yang bisa berkembang ke arah pornografi.

Membaca puisi KJ, tidak ada halaman yang kubaca sambil lalu. Selalu ada rasa yang berbeda pada tiap puisinya, seperti pulasan warna warna yang mampu memberi paduan dominasi warna berbeda pada masing masing kanvas.

Kita tidak perlu harus mengenal siapa dan bagaimana Kurniawan Junaedhie tapi memiliki buku puisinya adalah seperti terbawa pada dunia yang tidak bisa kita temui di peta manapun. Tidakkah menarik untuk sebuah petualangan imajinasi yang menginspirasi?

Kurniawan Junaedhie telah berada di dalam elemennya, sehingga bilah bilah jarinya mencipta puisi-puisi yang bercahaya. ***

Susy Ayu (penikmat sastra, bukan pengamat)
Maret 2010

Semua puisinya kusuka, tapi akan kubawa satu puisinya ke sini yang menjadi inspirasi untuk judul buku ini

PEREMPUAN DALAM SECANGKIR KOPI (2)

- sa

Aku ingin sekali bisa mengapung sembari berenangan di dalam kopimu. Kubayangkan, betapa nikmatnya hidup dipermainkan air yang gelap dan pahit sambil diguncang-guncang oleh sendokmu. Aku akan menukik, menyelam dan menggapai tanganmu lalu sesekali, sambil berkecipakan di dalam air yang hangat itu aku akan mencium bibirmu di pinggir cangkir. Tak ada yang bisa cemburu. Juga air ludah dan lendir di mulutmu.

Aku suka caramu memasukkan gula pasir ke cangkir dan menyedunya dengan air. Aku suka caramu membaui kehangatan air kopi dan caramu mencecap dengan lidahmu. Kamu paling akan bertanya, sejak kapan kamu suka berenang? Aku akan menjawab, sejak kamu suka menjerang air, dan menuangkannya ke dalam termos. Di tengah hidup yang pahit, aku senang menyelam ke dalam kopi bersama seorang perempuan yang hangat. Tak ada yang bisa cemburu. Juga sendok dan piring kecil dekat cangkirmu.

Olala, Bintaro, Okt. 2009
Kurniawan Junaedhie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar