Rabu, 09 Mei 2012

Catatan Seno Gumira Pada Buku Cerpen "Perempuan Di Balik Kabut"

Demikianlah disebutkan, bahwa pertanyaan esensial bukan lagi penulis dan tulisan, melainkan menulis dan membaca. Dalam konsep ini, perhatian kepada penulis dijauhkan sebagai sumber makna, seperti juga tulisan sebagai objek, dan sebagai gantinya perhatian dipusatkan kepada dua jaringan kebiasaan yang berkorelasi: menulis sebagai suatu institusi dan membaca sebagai suatu kegiatan.

Dengan pengantar sependek ini, izinkanlah saya langsung mengeluarkan Susy Ayu sebagai subjek individual dalam perbincangan, karena ketika bahkan tulisan ditolak menjadi objek, yang tersisa hanyalah subjek sosial yang berbicara dalam tulisan, yang hanya akan muncul dalam pembacaan saya ketika kembali, lagi-lagi sebagai tulisan—yang sekali lagi hanya akan ter/di-hidupkan dalam pembacaan. Itulah, pembacaan dan penulisan adalah suatu proses yang maknanya terus menerus berubah, sementara penulis hanyalah medium—ibarat dukun kemasukan roh yang akan berbicara bukan atas nama dirinya pribadi—dan tulisan hanyalah jejak, satu-satunya jejak dan bukan kenyataan itu sendiri.

Jejak sebagai artefak kebudayaan? Tentu. Namun kebudayaan macam apa? Di sanalah akan terjejaki pergulatan antarwacana. Sejauh bisa saya klebet kumpulan cerpen Perempuan di Balik Kabut ini, dan bukannya sisir seperti—yang seharusnya—menyisir kutu, maka pergulatan yang untuk sementara ini menonjol untuk dijejaki adalah pergulatan antara wacana cinta dan wacana birahi.

Baiklah saya ungkapkan saja sejumlah sample hasil peng-klebet-an itu:

… lingerie yang selalu baru untuk menyita perhatianmu, berusaha keras melahap pengetahuan bersetubuh dengan gaya baru untukmu. Namun, kita bukan suami istri, aku hanya simpananmu….(“Langit Sephia Berbingkai Jendela”)

Namun tahukah kau, Zal. Aku pun bisa hamil. Aku pernah hamil! Laki-laki teman seragam abu-abuku dulu yang melakukannya, di saat kami berdua melayang di tengah asap putaw. / Aku juga perempuan sejati, bisa hamil seperti Dewimu. Aku pun memiliki cinta yang tulus, seperti Dewimu. (“Tiket Sekali Jalan”)

Bercinta di tepi pantai adalah impianku, Mas. Penyatuan jiwa dan cinta dengan suasana yang begitu hangat. Hal itu terasa indah bila dilakukan dengan orang yang paling tercinta. Berpelukan mesra, saling berbisik, bercumbu dengan sayang… lalu kita bercinta dengan penuh gelora…..(“Antara Jalan Tol dan Tepi Pantai”)

“Ssst. Sabtu dan Minggu depan. Aku sudah pamit kepada istriku, aku hendak dinas ke luar kota. Bisakah kau?” Aku bergairah membaca pesannya./ Kali ini jariku mengetik pesan untuk orang lain, “Ma, aku baru dapat tugas untuk ke luar kota pada Sabtu dan Minggu depan.” Pesanku itu sampai ke ponsel istriku. (“Borges dan Labirinku”)

Dia menyerah, tetapi tidak sinar matanya. Tubuhnya terbuka tanpa perlawanan, kelopaknya tersibak, setengah megap-megap dia menyusun kata-kata.
“Silakan kalau kau mau. Setelah ini jangan pernah berharap untuk ketemu aku lagi. Aku akan berdoa, kamulah laki-laki terakhir yang paling kubenci.”/ “Tidak dengan ini karena aku mulai mencintaimu,” suaranya parau, kupikir matanya basah. (“Perempuan di Balik Kabut”)


Kutunjukkan pada laki-laki… aku masih saja bisa nikmat meski tidak lagi perawan! (“Rahasia Hati”)

….., di usiaku yang ke-36, susuku masih sekencang delima, hanya saja dengan suami megap-megap macam ini aku merasa agak tersinggung. Tapi ia sekarat, aku bisa melihatnya. / Perasaanku berdebar. Di balik pintu, kekasihku menunggu dengan simpati yang sempurna. Selama suamiku menarik napasnya satu-satu dalam 18 jam ini, ia telah menyentuhkan telapak tangannya yang terasa hangat empat kali ke pinggulku, meremasnya / Ia tahu itu menciptakan perasaan riang yang bergelora dalam diriku. Usianya 27 tahun. Mengingat staminanya yang kuukur secara rahasia lewat penyelinapan-penyelinapan kami, aku bisa merasakan, waktu sekaratnya masih lama lagi. (“Nota Perkawinan”)


Dalam birahi, kehidupan dan kematian bersatu. Dalam birahi, kau dan aku cabar seperti kabut. Dalam birahi, aku lenyap dalam dirimu. Maka perempuan, susui aku lagi. Biar kusesap habis dirimu, sebab dinamakannya kau Hawa, lantaran kau adalah ibu dari segala kehidupan. (“Kunamai Kau Kenangan”)

Dari 12 cerita pendek, jika setidaknya delapan di antaranya mengungkap artefak semacam ini, kiranya sahih untuk berbincang, antara wacana birahi dan wacana cinta, bagaimana keduanya telah bergulat?

Sebelum itu, tentu mesti saya rentangkan lebih dahulu konstruksi oposisional keduanya dalam wacana dominan, yakni bahwa birahi selalu disamakan dengan nafsu seksual, dan dengan itu akan selalu mengotor-ngotori kesucian cinta—sedangkan cinta itu sendiri hanya sahih dalam mahligai perkawinan. Di luar lembaga pengesahan hubungan seksual tersebut, dengan atau tanpa cinta, hubungan tersebut bermasalah, bahkan resminya ‘taksuci’ lagi.

Maka, kerangka konstruksi wacana dominan tersebut tentu seperti berikut:
Cinta = Suci = Perkawinan >< Birahi = Taksuci = Luar-Perkawinan

Sekarang, jika kita ikuti hasil pengujian dengan ‘teori’ semacam itu, hasilnya adalah seperti berikut:
1. “Langit Sephia Berbingkai Jendela” – Birahi/Taksuci/Luar-Perkawinan = Cocok
2. “Tiket Sekali Jalan” – Birahi/Taksuci/Luar-Perkawinan = Cocok
3. “Antara Jalan Tol dan Tepi Pantai – Cinta/Birahi/Perkawinan = Takcocok
4. “Borges dan Labirinku” – Cinta/Birahi/Luar-Perkawinan = Takcocok
5. “Perempuan di Balik Kabut” – Cinta/Birahi/Perkawinan = Takcocok
6. “Rahasia Hati” – Cinta/Birahi/Perkawinan = Takcocok
7. “Nota Perkawinan” – Cinta/Birahi/Luar-Perkawinan = Takcocok
8. “Kunamai Kau Kenangan” – Cinta/Birahi/Perkawinan = Takcocok

Pembaca tentu harus mencocokkan lagi simpulan serba sementara ini dengan cerita pendeknya secara utuh, karena yang saya ambil adalah moralitasnya—sehingga bisa saja pasangan dalam cerita tersebut memang belum menikah, seperti dalam “Perempuan di Balik Kabut”, tetapi ketika tokoh perempuannya menolak penerusan hubungan seksual, meski sudah tenggelam dalam birahi, justru karena cinta, itu berarti ia menghendaki perkawinan bagi pengesahan cinta plus birahinya tersebut.

Dalam “Borges dan Labirinku” para pelaku yang berselingkuh, dengan cinta, sama-sama beristri (= keduanya pria)—ini tidak mengubah konstruksi oposisional dalam wacana dominan yang diujikan kepadanya, yang ternyata memang takcocok.

Sementara dalam “Rahasia Hati”, suatu pernikahan batal karena faktor takperawan, tetapi pendapat bahwa faktor itu takberpengaruh pada kenikmatan seksual, jelas membenarkan kesahihan birahi dalam cinta dan perkawinan, alias takcocok dengan konstruksi oposisional wacana dominan, yang dalam peng-klebet-an-rada-serabutan ini tampaknya sudah takdominan lagi—karena hanya dua cerita yang memenuhi kecocokannya.

Dalam konstruksi wacana yang sudah takcocok pada enam cerita, meski sama-sama takcocok, terdapat berbagai varian, misalnya bahwa ternyata ketakcocokan meleburnya cinta (=suci) dan birahi (=taksuci) bisa terdapat di luar maupun di dalam lembaga perkawinan itu sendiri.

Sedangkan yang menyamakan keenam-enamnya, justru peleburan cinta dan birahi tersebut. Bolehkah yang suci itu sekaligus bernafsu birahi? Dalam konteks hubungan seksual, tampaknya justru konstruksi wacana inilah yang sekarang dominan, menggantikan konstruksi oposisional sebelumnya, bahwa cinta yang suci terpisahkan dari birahi yang taksuci.

Disimpulkan kembali, bukan lembaga perkawinan yang menjadi faktor pengesahan hubungan seksual—kali ini selalu dengan birahi—melainkan cinta. Apakah harus kita sebut lembaga cinta? Barangkali tidak, sebab ketika cinta dilembagakan, ia akan berhenti sebagai cinta… Seperti banyak perkawinan yang berhasil melembagakan hubungan seksual, tetapi gagal menghidupkan cinta itu sendiri, yang pada gilirannya mematikan segala-galanya.

Yang suci memang cinta, di dalam maupun di luar lembaga perkawinan, seperti yang secara dominan merupakan wacana dalam kumpulan cerita Perempuan di Balik Kabut ini—sampai artefak kebudayaan lain menggugurkannya.

Seperti juga mitos, bahwa hanya perempuan yang bisa hamil layak disebut perempuan sejati dalam cerita “Tiket Sekali Jalan”, yang telah gugur, tidak ada yang abadi di dunia ini—sehingga jika cinta tetap ingin bertahan, memang harus selalu diperjuangkan kembali, lagi, lagi, dan lagi…

Salam.

Seno Gumira Ajidarma

Kampung Utan, Selasa 18 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar