Minggu, 13 Mei 2012

Puisi Susy Ayu di Kompas Minggu 13 Mei 2012

PERJAMUAN

ini darahku
sesap baik-baik

ini dagingku
congkel lagi sekepal

di luar
sepi telah resah berkerumun

bagikan saja
sebab tiap sajak cuma gema di Getsemani

tidak, jangan berduka!
aku cuma seorang kekasih
yang bimbang menunggu
di kayu salibmu

(Yogyakarta, 2011-2012)


MENJADI GENANGAN

kamulah Toba
genangan air mata purba
duka yang membeku sebagai dinding kawah

kau kutuk aku dengan cintamu
berjaga sebagai menhir di gerbang-gerbang huta
sampai kau sudahi tujuh puluh tujuh ribu kangenku
dengan selembar kartu pos
yang tak sampai kemanapun

(Bekasi, 2012)


LEBARAN

hatiku sebatang kembang api
kau sulut dan terbakar di awang
sambil kau bertepuk tangan

kumaafkan engkau
untuk kegembiraan yang kekanak-kanakan

(Magelang, 2011)

Kamis, 10 Mei 2012

Seorang Nenek Di Kaki Merapi

setelah puing, setelah asap
setelah tak seorangpun
seorang nenek digendong relawan
ia enggan tak mau pergi
kula mriki mawon

setelah seismologi dan laporan cuaca
setelah early warning system dan disaster management
seorang nenek bersikeras
ia tak beradu pendapat, ia diam
mungkin ada yang tak kita mengerti
pejah gesang kersane Gusti

seorang nenek di kaki Merapi
diusir dari gagasannya
sebab orang tak mau ia seperti Mbah Maridjan
yang kata seorang ustadz
mendzalimi dirinya sendiri

seorang nenek di puing Merapi
berharap menutup wajah dengan kain
berbaring menghadap wuwungan
sembari menyapa maut

dan di gedung kesenian
para penyair berkumpul
membacakan sajak-sajak kepedihan melipur lara
sambil lupa bertanya pada si Nenek
apa sesungguhnya arti selamat


Susy Ayu
Nov 2010
dimuat dalam buku antologi puisi "Merapi Gugat"

Stasiun Tugu Dalam Catatan

STASIUN TUGU 1

di peron lidahmu kelu
sebab telah salah kau tulis
pidato penyambutan untuk sesuatu
yang menjadi keberangkatanmu sendiri


STASIUN TUGU 2

di kursi fiber itu kau termangu
penantianmu sia-sia
sebab entah bagaimana
tak kau sadari adaku
tik tok jam yang setia
menghitung gerbong demi gerbong
juga degup jantungmu sendiri


STASIUN TUGU 3

di jendela
kulihat wajahmu berseliweran
apakah kita pernah berkenalan?
lama kau tak menjawab
sebelum akhirnya kudengar
suara roda menggilas rel
hatiku yang bising dihajar sepi


30 Nov 2010
Susy Ayu
dimuat di Minggu Pagi, Yogya

Takluk

seutas g stringku

kau akui adalah mata rantai hilang, yang diburu darwin;
sebab aku adalah manusia yang bermula di Baqqah
dari tanah yang ditiupkan ruh di bentang langit

kau akui
khotbah-khotbahmu telah rubuh di bawah rentang kakiku
kerajaan-kerajaanmu cuma selintas bau samudra
mengingatkan pada keberadaanmu sebagai makhluk pra ampibi,
jauh sebelum mamalia-mamalia merangkak di daratan,
dan kau belum lagi menyusu dari dadaku

kau takluk pada seutas g stringku ***


12 Juni 2010
dimuat dalam buku antologi puisi tunggalku "Rahim Kata-Kata"

Setangkai Lily Dari Peking

Dulu orang bertanya-tanya, apa yang terjadi jika sebuah benda dibelah terus –menerus, terus dan terus, kecil dan makin kecil? Tak seorangpun bisa melakukannya. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cerdas dan tak henti mempertanyakan kenyataan dunia yang dilihatnya. Kalian tahu apa yang dia katakan? Ia bilang, pekerjaan belah-membelah semacam ini tak bisa dilakukan terus- menerus. Pada akhrinya orng akan tahu bahwa itu pekerjaan mustahil. Itu pelajarannya, seseorang harus berhenti pada waktunya, ia harus menyadari kemampuannya sendiri. Pada saat itulah , orang akan sampai pada bagian yang tak bisa dibagi lagi. Inilah: atom! Dan laki-laki yang cerdas itu bernama Demokritus.

Selain soal Demokritus, aku tercenung oleh ucapan guruku dulu bahwa aku harus menyadari kemampuanku sendiri. Kemampuan bertahan untuk terus tingal di rumah bersama papa, kemampuan untuk mananggung perasaan papa yang terlanjur kehilangan prasangka baik terhadap dunia, hingga mengubah dirinya menjadi lebah pekerja tak bernama di antara kerumunan sejenisnya, mengira bahwa dunia disusun dari berbatang-batang korek api yang bisa dihitung jumlahnya. Aku menyerah untuk menanggungkan papa yang demikian. Papa yang selalu siap melakukan penyederhaan yang picik, mungkin lebih tepat keras kepala, meskipun di atas semua itu papa cuma seorang ayah yang berusaha melindungi dan menjamin kesejahteraan keluarganya. Kekeraskepalaan papa seringkali membuatnya jauh dari mama dan aku, sungguh ia seorang papa dan suami yang otoriter. Aku menyerah.

Dulu opa adalah pemilik opera Peking. Ia melatih pemain-pemainnya sendiri, mengajari mereka keindahan dan bagaimana hidup dari menciptakan keindahan. Opa dan papa sangat bangga dengan itu, seperti tak ada kehidupan lain di luar itu. Tapi hal-hal terjadi, sebagian terlalu buruk, hidup seperti menumpang di negeri sendiri, tak boleh memilih pakaian kita sendiri, tak boleh merayakan kegembiraan kita sendiri. Aku belum lahir ketika kejadian itu berlangsung. Ada baiknya aku tak merasakan bahwa ada kehangatan dari yang selama ini aku alami.

Kadang aku berpikir, akan lebih baik kalau seseorang tak memiliki kenangan manis. Semua bisa mengubah orang-orang menjadi seperti papa sekarang. Tapi aku tahu, cinta mama membuat papa tak pernah berubah di mata mama. “Papa tetap laki-laki yang hangat, Papa cuma sedang marah. “ Begitu kata mama.

Papa selalu marah menghadapai apapun bahkan untuk segelas air es yang tidak ditemukan di dalam kulkas.
“Bing! Di mana air es?” Papa berteriak.

“Mama bobo,Pa. Mama demam. Air es habis, butuh beberapa jam untuk mendinginkannya lagi. Pa bisa pakai es batu kalau mau.” Aku menjawab dengan kegusaran yang terpendam.

“Mau jadi apa kau ngomong begitu sama orang tua? Aku ngurus pabrik seharian, tahu untuk siapa? Untuk kamu! Kalau aku pulang, apa yang kuinginkan? Air es! Air es tanpa es batu. Ngerti nggak? Kamu mau gantikan Papa ngurus pabrik? Kerjamu cuma sekolah, nonton tv, sibuk foto ini itu. Kalian semua nggak berguna!”

“Papa nggak boleh menghina mama. Papa nggak boleh menghina hobi Lily. Lily cuma bisa motret, Lily senang berada di tempat lain selain di rumah ini, Lily nggak bisa kayak papa ngurus pabrik dan pernah punya opera terkenal.”

Plak! Papa menamparku. Aku berdiri menatapnya tajam. Sementara papa sibuk menciptakan duniaku seperti kisah opera yang bisa dia atur dengan skenario di kepalanya. Apakah papa juga membenciku seperti dia membenci pribumi?

“ Pacaran kamu sekarang sama pribumi?” Suatu hari Papa menegurku dengan keras, di depan rumah ketika Iwan baru mengantarku pulang dari pameran photography. Aku tidak diberinya kesempatan bicara.

“Berapa lama kamu ngabisin duit orang tuamu? 18 tahun? 19 tahun? Dan berapa harga tuh mobil kamu? Puluhan juta, ratusan juta? SMA kamu sudah minta mobil, kalo kuliah kamu minta apa? Ganti mobil yang ada TV nya sekalian? Kamu kuliah, taruh kata tujuh tahun, tigatahun kamu habiskan di diskotik dan pusat pertokoan !” Papa tidak bisa berhenti bicara. Kemarahannya meluap kepada Iwan.

“ Itu untung kalo kamu nggak narkoba. Kalo kamu narkoba, mabuk, ketagihan, orang tuamu akan menghabiskan berapa puluh juta lagi untuk mengirimmu ke rehabilitasi. Dikira saya tidak tahu? Terus berapa ratus juta lagi untuk mobil baru? Biar perasaanmu senang, biar kamu lupa sama narkobamu. Kalau kamu lulus, jadi Insinyur, itu udah untung banget. Kamu akan tetap dibayar untuk bikin diskotik baru, mall baru agar anak-anakmu bisa belanja lebih gila-gilaan lagi. Generasi apa kamu?”

“Tapi om...” Iwan kelabakan. Aku erat menggenggam tangan Mama.

“ Terus hari ini kamu habis bawa anak saya, dengan mobilmu yang warnanya kolokan itu. Kamu mau pamerin ke saya? Ke anak gadis saya?”

“Tapi ,om..saya tidak bermaksud sejauh itu..”

“Oya? Terus kamu mau apa? Kalau saya tidak kasih , kamu hamilin dia nanti. Begitukan caranya? Dikira saya tidak tahu? Terus saya terpaksa kasih anak saya, terus karena kamu nggak bisa kerja, seminggu sekali anak saya akan pulang sambil nangis, minta duit sama saya!”

Saat itu aku adalah gadis 19 tahun yang hidup di negeri seseorang, dengan ayah yang jadi menyebalkan karena tidak boleh bermain barongsai. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang Cina, perasaan yang tidak pernah kumiliki sebelumnya. Aku tahu, aku memang cina, bermata sipit, seperti beberapa ratus ribu orang lainnya. Tapi apa bedanya dengan yang lain? Aku belajar Pancasila seperti mereka. Duduk di kelas seperti mereka. Tolol seperti mereka. Aku bertanya-tanya, apakah mereka merasa seperti pribumi?

Dan Iwan memang pribumi di sekolah kami, dan dia bawa mobil. Orang pikir Cina selalu kaya, dan papa mungkin kecewa dengan hidupnya, meski ia pekerja keras. Awalnya aku tidak mau naik mobil Iwan, nanti dikira aku matre. Apalagi aku sipit. Apakah Iwan merasa menjadi cina karena dia pakai mobil dan sekolah di sekolah swasta? Apakah papa merasa jadi pribumi karena dia tingal di negeri ini? Papa tidak bahagia, apapun tidak lagi menyelamatkannya. Aku tidak tahu lagi apa yang dibutuhkan papa, mungkin dia tidak ingin menjadi binatang pencari uang tetapi bagaimana ia bisa tahu hal itu? Dia tidak diijinkan menjadi yang lain, opera opa sudah dibubarkan. Ah, Aku ingin tempat lain, tidak mau duduk di sini, waiting like a fool, menunggu kereta dengan jurusan entah.

Dan kini malam Imlek, seperti dari tahun ke tahun aku merayakan dengan kekhidmatanku sendiri. Tak ada mama, tak ada papa. Kerusuhan Mei telah menghanguskan pabrik papa, merenggut jantungnya untuk kemudian mama menyusul papa dengan cintanya.

Mungkin orang-orang akan megejekku, karena aku Cina, mahasiswi antropologi yang gemar menjadi relawan di tempat yang begitu banyak kematian merenggut. Mungkin di mata orang-orang aku hanya turis yang kebingungan mencari cara untuk pelesir, yang bepergian sejauh ribuan kilo ke sebuah tempat di mana orang –orang saling berbunuhan dengan saudaranya, seperti di Ambon. Juga mengajarkan anak-anak kecil di pengungsian korban Merapi. Kalian bisa saja menuduhku aku bersedih dengan cara yang mewah,mengambil gambar- gambar mereka dan menjadikannya wallpaper di komputer, bersama monumen kesedihanku yang lain.

Benar aku mencari alasan yang paling sederhana untuk melakukan sesuatu, untuk menghidupkan sesuatu, untuk sesuatu yang lebih baik, setidaknya kematian orang tuaku, setidaknya rasa kehilangan, kenangan-kenanganku. Kalian akan mengejekku, tapi mungkin itu satu-satunya hal yang bisa kuraih, untuk bertahan dan berjalan terus. kangen Pa, kangen Ma, kangen rumah. Pa, Ma ayo kita bermain opera Peking dan barongsai, Gong Xi Fa Cai !***

Susy Ayu
dimuat di Minggu Pagi, Yogja, 4 Feb 2011

Puisi-Puisi SA di Minggu Pagi, Yogya

Puisi-puisi Susy Ayu di koran Minggu Pagi, Yogyakarta, Jumat Kliwon 14 Oktober 2011

SAJAK SEEKOR BADAK
(untuk 50 ekor badak jawa yang hampir punah di ujung kulon)

saat kau resah dan sendiri
bersembunyilah di sini
pada kubangan pada sesemakan
pada tiga goresan culaku di batang-batang pohon

tunggu ia datang
mengukur jejakmu
menebak adamu
menghitung hidupmu

di dalam sini
sembunyimu abadi
dengan limapuluh ekor kesunyian
di Dandaka-Dandaka rahasia
sebelum Baratayudha

8 Maret 2011


PADA SUATU MASA DI KELENTENG MA ZU

561 tahun keabadian
cintaku kokoh meresap
dalam tiang jati kelenteng tertua
tegak menghadap langit tanah Jawa

ketika angin berwajah gelisah
telah kutitipkan nama kita
pada arak-arakan kio keemasan
anggun melintasi gerbang Ma Zu

Lasem, April 2011


TERSESAT

orang sudah berbunuhan sejak jaman dulu
ini semua bukan hal baru
dan masih saja berulang
mereka mencari jalan pulang masing-masing
dan tak habis-habis mempertengkarkan cara yang mereka tempuh
kelak anak-anak kita juga mencari jalan pulang
tapi dari mana semua itu hendak dimulai ?
tidakkah kita cemas mereka akan tersesat
jika hanya kebencian yang diwariskan?

ada banyak kuburan di tempat ini
ada lebih banyak lagi di benak orang-orang
mereka menziarahinya tiap kali
setiap kali disadari ada yang sudah hilang
mereka akan menengok ke sekeliling
tak tahu lagi apakah kesedihan atau kematian
yang membuat mereka saling melukai

kelak anak-anak kita adalah si penyampai pesan
yang semua pesan adalah berita baik
bukankah setiap nabi juga membawa pesan baik?
namun pengikutnya memperlombakan kebaikannya
hingga saling membunuh untuk memenangkannya
mereka lupa bahwa Tuhan yang menciptakan segala
nabi-nabi itu, kebaikan kebaikan itu
mereka lalai bahwa jalan pulang hanya kepada Tuhan

Tuhan satu-satunya tempat semua pesan itu berasal

Oktober 2011


OPERA SEMALAM 2

kita duduk berdua di depan televisi
“Kita sudah kebingungan. Kita panggil para ahli dari luar negeri dan
bersikap seakan formulasinya adalah obat paling mujarab untuk segala
penyakit. Kita berkerumun seperti nonton tukang obat di pasar. Anda
ngerti tho maksud saya?”

kita duduk berdua di depan televisi, mengganti saluran lain
“negeri ini penuh krisis, tidak semata-mata krisis politik, melainkan
krisis multidimensi. Rakyat sudah tidak percaya lagi lagi pada
kepemimpinan yang ada “

kita duduk berdua di depan televisi, menekan saluran lain
“Indonesia mmng sedang membususk. Mental kita belum mampu
berdemokrasi. Amerika melewati tahap anarkis sebelum akhirnya
membentuk masyarakat sipil mereka. Perbudakan, perang saudara,
wildwest.”

kita berdua masih duduk di depan televisi, mematikannya
bapakku terbunuh di atas sajadah
ayahmu meninggal kena ledakan bom gereja
haruskah ada seseorang yang mati lebih dulu untuk memberikan alasan
atas cita-cita kemanusiaan?
Tuhan, Kau ada di saluran berapa?

Oktober 2011

Aristoteles Dan Fiksi Mini

Menurut aristoteles, yg menelurkan salah satu teori cerita paling tua yaitu sebuah cerita memiliki awalan, tengah dan akhir. (Struktur tiga babak.) Jika kita mengikuti teori itu, meskipun itu bukan teori satu satunya, maka semestinya sebuah fiksi memiliki unsur-unsur tsb. Awalan sebagai perkenalan (bisa berupa kalimat tersirat) , tengah itu puncak konflik, akhir adalah solusi atau resolusi.

Awalan, puncak maupun resolusi/solusi mengacu pd struktur bukan pada kronologi, artinya; urutannya bisa dibolak-balik atau bahkan berhimpit satu sama lain. Justru di sinilah yg menjadikan kekuatan sebuah fiksimini. Tantangannya adalah bagaimana memenuhi unsur-unsur itu di dalm 140 karakter yg sebaiknya mengandung : aspek yg baik dr sebuah cerita yaitu suspense atau surprise.

Fiksimini merupakan sebentuk wahana di mana eksperimentasi seprti itu dilakukan. Kemudian akan menjadi lengkap ketika pembaca bisa menangkap premis yang melandasi plot dlm cerita itu. Premis ini sendiri biasa merupakan gagasan tersembunyi yang sebaiknya tdk pembaca temukan pd kesempatan pertama perjumpaannya dgn teks sehingga sebuah fiksimini bisa terhindar dr deretan slogan maupun definisi-definisi yg terlalu verbal.

Pertanyaan dari mas S che Hidayat:
S Che Hidayat ‎::. Fiksimini - Mucikari -
( ini hanya copas)

Semalam lagi terlewat, dalam dada perih teriris, uang yang digenggamnya tak cukup meski hanya untuk membayar terapi HIV-nya.

adakah dari ketiga unsur di atas -yang di sebutkan kak SusyAyu Dua, di fiksimini itu.

sengaja saya ambil contoh dari tulisan saya sendiri...
terima kasih.

Jawaban :

SusyAyu Dua
Mas S Che Hidayat,ya. ada. Frase "semalam lagi terlewat" merupakan introduksi pd pembaca bahwa plot yang dijabarkan sesudahnya merupakan proses yang sudah berkelanjutan, berhimpit-himpit dengan surprise "uang yang digenggamnya tak cukup" yang merupakan puncak konflik dan sekaligus resolusi dari plot.

Ada baiknya juga untuk menggarisbawahi bahwa seringkali dalam fiksi mini, bagian-bagian yang merupakan introduksi, puncak dan resolusi hanya bisa dikenali sebagai 'lengkap' ketika ketiganya telah ditandai oleh pembaca. Himpitan-himpitan semacam ini yang merupakan salah satu kekhasan fiksi mini, dan juga sekaligus kekuatannya.

Keterbatasan ruang (yang inipun hanya berlaku dalam ‘rubrik’ ini, yakni 140 karakter) yang sudah didefiniskan sebelumnya memberi keharusan untuk mengasah kesanggupan menuangkan gagasan dalam 'ketidaklengkapan-ketidaklengkapan' yang musti berefek 'lengkap' dalam imajinasi pembaca.

Masalahnya adalah apakah kisah yang ditulis cukup seduktif untuk membuat pembaca melengkapinya sendiri dalam gagasan yang terbit dalam benak mereka setelah membacanya?

Demikianlah salah satu kemenarikan dari fiksi mini. Seduksi, suspense, surprise.. mungkin demikian yang bisa diangankan dari sebuah fiksi mini. Tentu saja ini juga bukan segalanya :)



Buat teman yg ingin mengetahui teori dasar ttg struktur tiga babak ini, bisa dibaca di buku Poetics-nya Aristoteles

Dalam bukunya, Poetics, Aristoteles, banyak menelaah tentang tragedi, sebuah bentuk dramatik yang banyak ditemukan dalam sebagian besar literatur klasik Yunani. Menurutnya, sebuah tragedi memiliki enam bagian yang mendasar, yaitu Plot, Karakter, Diksi, Ide (Thought), Spektakel (spectacle) dan Lagu (Song). Dalam hal plot, demikian yang ia katakan:
The plot, then, is the first principle, and, as it were, the soul of a tragedy:…

Dan lanjutnya:
Chapter VII
.. Tragedy is an imitation of an action that is complete, and whole, and of a certain magnitude; .. A whole is that which has a beginning, a middle, and an end. A beginning is that which does not itself follow anything by causal necessity, but after which something naturally is or comes to be. An end, on the contrary, is that which itself naturally follows some other thing, either by necessity, or as a rule, but has nothing following it. A middle is that which follows something as some other things follows it. A well constructed plot, therefore, must neither begin nor end at haphazard, but conform to these principles.

Bila disimak, mungkin bisa ketemukan banyak sekali karya-karya sekarang ini yang tidak sepenuhnya memenuhi yang dijabarkan dalam Poetics, tapi demikianlah jamaknya sebuah teori, yang akan terus direvisi dari waku ke waktu. Akan tetapi, dalam kesempatan pertama, penjabaran teori-teori ‘babon’ semacam ini menarik untuk disimak, karena demikianlah pondasi pengertian kita akan kenyataan (karya sastra) bisa kita tetapkan. Sebuah pondasi semata-mata tentu saja tidak memadai, tapi kita tetap memerlukannya sebagai dasar bukan?

Dalam hal fiksi mini kita, tentu saja kita bisa melampaui teori itu, atau teori manapun, dan memang seharusnyalah demikian, sebuah karya kreatif semestinya terbebas dari aturan. Tapi ketika kita ingin melampaui aturan, bukankah aturan itu sendiri harus kita kenali? Dan tentu saja, sekali lagi, ini juga bukan satu-satunya aturan.

Sekelumit tulisan tentang gagasan aristoteles mengenai struktur tiga babak ini sekali lagi bukan agar fiksimini yang kita tulis hanya memenuhi hal tersebut, tapi justru agar eksperimen-eksperimennya dapat melampaui kebakuan-kebakuan yang ada. Demikian takdir yang mestinya ditempuh oleh sastra.

Terimakasih dan mohon maaf atas segala kekurangan. ***

(tulisan ini berawal dr status saya untuk menyemangati dan memberi masukan yang lebih praktis kepada teman-teman peserta # fiksi 140, namun kemudian berkembang menjadi sebuah note seperti ini).

Susy Ayu
Pelaku Sastra
27 Oktober 2011